IBNU RUSYD
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dominasi pengaruh
filsafat Yunani kian menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap
eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan
tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam
Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak
ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai
dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan
keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah
dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok. Karena
itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu
Rusyd.
Persoalan ini sangat
urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan
dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami
ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang.
Penyusunan makalah ini berawal dari tugas yang diberikan oleh Bpk.
Rafiudin selaku dosen pembimbing mata kuliah “Filsafat Umum” kepada kami. Dan
makalah ini akan kami jadikan sebagai bahan belajar kelompok atau diskusi.
Jadikanlah makalah ini sebagai penambah wawasan
dalam peningakatan kegiatan belajar.
B. Perumusan Masalah
- Penjelasan tentang Ibnu Rusyid dan sejarahnya.
- Ibnu Rusyid sebagai filosof.
- Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyid terhadap perkembangan filsafat.
C.
Tujuan
- Menambah wawasan tentang Ibnu rusyid dan kehidupannya sebagai filosof.
- Memahami hasil pemikiran Ibnu Rusyid dan karya-karyanya
- Sebagai bahan diskusi atau belajar kelompok.
D. Sistematika
Penulisan
- Bab I: Pendahuluan
- Bab II: Ibnu Rusyid
- Bab III: Penutup
BAB II
Ibnu Rusyd
A. Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd
adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia
dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk
mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu
Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat
Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk
pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk
mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
Diantara para filosof
Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan
Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126
M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ayah dan kakek Ibnu
Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah
seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak
ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami
filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ia ditulis sebagai
satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang
semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi
hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri
menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang
penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada
masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah
kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang
kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan
kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan
menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang
ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan
perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd
melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama
yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang
rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam
memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah
segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di
Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan
kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup
pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish
Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif
dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang
terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Pengalaman pahit dan
tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami
para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu
pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan
pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif,
toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad
menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi,
dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Di dunia Barat ia
disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih
pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose
Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan
seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi
Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka
melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya
menjadi Averrois. Dari Averrois ini muncul sebuah
kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri
Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli
dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya
terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya.
Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah
guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu
Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani,
pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya
sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan
komentas terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut
terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles
sendiri.
Hidup terkucil demikian
tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut
hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua
itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut
perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.
B. Pemikiran
Filsafat Ibnu Rusyd
1) Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas,
bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun
setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali
mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang
kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth
al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan
terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama,
khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali
menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal
diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga
soal tersebut adalah:
- Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
- Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
- Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan,
itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut,
menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu
mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam
terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan
penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap
ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak
mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis
Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para
filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen
para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan
Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan
resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut,
seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu
Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan
Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham
Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan
harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan
menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan
dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya.
Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama
pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri,
yaitu al-Quran.
- Harmonisasi agama dan filsafat
Memulai
makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari
filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang,
ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?.
Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala
wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’
menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang
ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut
syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah
perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi
karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr:
2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi
perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias
(perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang
telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan,
menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan
kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode
yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula,
yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah
metode filsafat. Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang
bersifat wajib.
Menurut
Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu
kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa
pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan
berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi
atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at,
berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian
maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil
(interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.
- Qadimnya alam
Tentang
qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu
hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya
tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain
dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud
ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua,
lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh
sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim.
Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada
wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak
pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh al-Qadim.
Inilah alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang
lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah
terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu
tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini
memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim.
Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan
menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats
akan menamakan muhdats pula.
Makna
– makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab
tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam
keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya
Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam
bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil
dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh
karena itu materi asal alam ini mesti kadim. Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd
mengutip penjelasan al-Quran, surat
Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud
sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan
bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka
disini Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan
ajaran al-Quran. Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan
Tuhan dari tiada, justeru tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
- Gambaran kebangkitan di akhirat
Menurut
Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi
mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan
dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani.
Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filsuf tidak berpendapat
seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf hanya berpaham bahwa
kebangkitan hanya bersifat rohani.
Sebaliknya,
menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth
al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa
kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya
yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi
di akhirat adalah kebangkitan rohani.
- Pengetahuan Tuhan
Menurut
Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal
yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan
mengetahui yang juz’a tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu yang juz’iyat
dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat
merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan
terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan
pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi
obyek yang diketahui-Nya. Artinya, karena pengetahuan Tuhan
bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’I tersebut,
bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti wujud saat ini.
Lebih
dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat
Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga
efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari
itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat
dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.
- Kesalahan Al-Ghazali
Jadi,
pengkafiran Al-Ghazali atas kedua failasuf tidaklah definitif. Karena dalam
bukunya “At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar
ijma’ hanya mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi
dalam persoalan seperti ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya
bergantung pada kemampuan kias rasional dan kemampuan burhani seseorang yang
hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian
keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam bidang takwil.
Maka penilaian yang tepat adalah bahwa orang-orang berselisih pendapat dalam
persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat pahala jika mereka benar, tetapi
bisa dimaafkan jika mereka salah.
Kesalahan
yang bisa dimaafkan demikian hanyalah kesalahan yang tidak disengaja yang
dilakukan kaum yang dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui takwil ketika
mereka mempelajari persoalan-persoalan rumit yang diperintah syara’ untuk
mempelajarinya. Adapun kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini, adalah
dosa. Maka bagi kaum burhani ini melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran
yang memberi petunjuk untuk itu harus dilakukan, sebaliknya umat kebanyakan
hanya diperintah mengambil makna lahir ayat, jika tidak akan menyebabkan
kekafiran pada masing-masing mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali –
terhadap semua orang – dalam melakukan kias rasional seperti dilakukan para
filsuf dan filsafat mereka tidak tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.
2) Pengaruhnya di
Eropa
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Maka secara berangsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat, terutama di Andalusia dan Sisilia, sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat.
Dinamis dan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di Andalusia dan Sisilia akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan Kristen untuk menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahan-penerjemahan atas seluruh karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas dengan meminta rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan tersebut. Setelah penerjemahan tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak melakukan kesalahan dalam intisari filsafat. Oleh kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Ibnu Rusyd sebagai sang pemberi penjelasan atau komentator filsafat Aristoteles. Dante dalam syairnya Divine Comedy, mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya.
Aziz Dahlan menjelaskan para pelopor lain dalam mempelajari filsafat tidak hanya dari kalangan intelektual tetapi juga dari kalangan agamawan Kristen, seperti Paus Silvester II (999-1003 M). Begitu pun setelah Toledo jatuh ketangan Alphonse (451 H/ 1058 M), dewan penerjemahan (kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Latin) didirikan oleh Raymund (1130-1150 M), Uskup Kepala di Toledo dan dewan ini dipimpin oleh Dominikus Gundisalvus. Pengakajian yang tidak kalah bergairah bahkan mendapat dukungan kuat dari Kaisar Frederik II (1212-1250 M), seperti di wilayah-wilayah Italia Selatan Palermo, Sisilia, dan Napoli. Di pusat-pusat pengkajian ini, karya-karya Ibnu Rusyd mendapat apresiasi yang luar biasa tinggi, hal itu terlihat dari banyaknya fasilitas yang diberikan Kaisar kepada Michael Scot (1175-1234 M) untuk menyalin dan menterjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, sedangkan Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) menterjemahkan karya-karya al-Farabi.
Disamping kelompok pengidola, ternyata paham filsafat Ibnu Rusyd juga mendapat penolakan bangsa Eropa yang datang dari kalangan gereja, seperti Keuskupan Paris “mengharamkan” kajian-kajian terhadap buku-buku Ibnu Rusyd di berbagai perguruan tinggi pada abad ke-13. Fakta-fakta diatas terkesan berlawanan, tetapi sebenarnya disanalah kekuatan pengaruh filsafat Ibnu Rusyd yang tidak habis dan henti-hentinya dibahas bangsa Eropa, secara sembunyi-sembunyi sekalipun. Karena itu sekali pun para Rahib dilarang mempelajari hal-hal yang berbau duniawi tetapi mereka tetap mengkaji dan mendiskusikan Ibnu Rusyd.
3) Averroisme
Ditangan Ibnu Rusyd, filsafat menjadi demikian menantang dan menarik minat banyak orang untuk mendalaminya. Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik terang bagi bangsa Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka. Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi dalam pemikiran Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju adalah tantangan secara diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena tertutup, otoriter dan dogmatis.
Seperti ditulis diatas, disini para agamawan Kristen bersikap “munafik” karena secara resmi melarang, tetapi mempelajarinta secara diam-diam dalam gereja mereka. Karena itu larangan Gereja tidak mempan menghalangi kaum intelektual untuk terus mengembangkan paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd di Eropa. Dari sini muncullah sekelompok intelektual yang bersemangat menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-mua’allim al-awwal). Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) mendirikan aliran Averroisme. Penamaan Averroisme sebagai pengikut Ibnu Rusyd, menurut Sirajuddin Zar (seperti disebut sebelumnya) adalah kurang tepat, lebih tepatnya dinisbahkan pada kakek Ibnu Rusyd sendiri.
Munculnya gerakan dan aliran Averroisme ini sejatinya adalah lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebab sebelumnya Eropa kosong dari dari ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran hanyalah Gereja Kristen. Seperti diketahui bahwa Gereja Katolik Roma sudah menancapkan dominasinya selama 11 abad di Eropa (abad ke-5 - abad ke-16 M) dan sukses dalam menyatukan Eropa didalam kerajaan Gereja Katolik– ditandai dengan supremasi gereja secara absolut diatas negara. Dalam situasi itu kehidupan masyarakat Barat sepenuhnya dalam kontrol dan dogma gereja Katolik Roma, sehingga tidak ada kemerdekaan dan keselamatan diluar gereja.
Menurut Sirajuddin Zar, kendatipun Averroisme ini namanya dibangsakan kepada Ibnu Rusyd, namun ajaran keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Hal itu disebabkan oleh latar belakang agama yang berbeda. Kalau Ibnu Rusyd mengembangkan paham rasional dalam bingkai ajaran Islam, sebaliknya Averroisme hanya mengambil dasar-dasar rasional saja dengan meninggalkan keyakinan keagamaan mereka. Lebih jelasnya Sirajuddin Zar menulis demikian.
“Ibnu Rusyd dilatarbelakangi oleh ajaran Islam yang rasional dan dinamis. Di dalam Islam terdapat ajaran yang bersifat dogmatis (qath’I al-dalalah) amat sedikit jumlahnya. Adapun yang terbanyak ialah ajaran Islam yang bersifat zhanni al-dalalah. Ia datang hanya dalam bentuk prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk mengoperasionalkannya diserahkan pada otak manusia setempat dimana ia hidup…berbeda dengan Islam, agama Kristen semua ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan antara ajarannya dengan filsafat. Atas dasar inilah ketika Averroisme mengembangkan pemikiran rasional Ibnu Rusyd di Eropa, yang atara agama dan filsafat dapat direkonsiliasikan, mendapat kesulitan.”
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa dalam Islam, demikian juga paham filsafat Ibnu Rusyd tidak ada kebenaran ganda, karena dari penjelasan sebelumnya jika terjadi ketidak sesuaian penemuan kebanaran akal dengan kebenaran wahyu, maka dilakukan proses takwil. Sehingga akhirnya hanya ada satu kebenaran, yaitu kesatuan kebenaran agama dan filsafat. Sebaliknya bagi bangsa Eropa terdapat kebenaran ganda(double truth), karena tidak mungkin mendamaikan kebenaran akal dan kebenaran agama. Jadi konsep kebenaran ganda yang dikembangkan Averroisme merupakan bentuk penyimpangan dari paham Ibnu Rusyd.
C. Karya-Karya Ibnu Rusyid
- Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)
- Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
- Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat)
Pemikiran Ibnu Rusyd terlihat ketika terjadi polemik antara ia dengan
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Ketidaksepakatan Al-Ghazali terhadap pemikiran
filsafat Ibnu Rusyd (hingga mengkafirkan) yang dituangkan dalam bentuk tulisan
berjudul “tahafut al-tahafut" (kerancuan dari kerancuan). Menurut
penilaian Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya tahafut falasifah dengan
pikiran-pikiran sufistik, dan kata-katanya tidak sampai pada tingkat keyakinan
serta tidak mencerminkan hasil pemahaman terhadap filsafat itu sendiri.
Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filusof-filusof
dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari dua hal.
Pertama, ia sebenarnya memahami pemikiran-pemikiran tersebut, tetapi tidak
disebutkan disini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang
buruk. Kedua, ia memang tidak memahami secara benar-benar, dan dengan demikian
maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan
orang-orang bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak
terdapat dalam diri Al-Ghazali. Akan tetapi “kuda balab kadang-kadang terantuk”
demikian kata pepatah. Dan bagi Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia
menulis buku tahafut-nya tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilakukan karena
melayani selera massa
dan lingkungannya.Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah kebangkitan
kembali manusia setelah meninggal.
Menurut Ibnu Rusyd, pembangkitan yang dimaksud kaum filsuf adalah
pembangkitan Ruhiyah bukan Jasmaniyah. Pandangan ini berakar dari filsafat
mereka tentang jiwa. Bagi Ibnu Rusyd dan juga filsuf lainnya, yang bagi manusia
adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa.
Sedangkan menurut Al-Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh,
tapi juga Jasmaniyah. Ibnu Rusyd juga mengajarkan bagaimana cara membangun
rules of dialogue , dalam kaitannya memahami orang lain di luar kita.
Teori ini didasarkan pada tiga prinsip epistemologi. Pertama,
keharusan untuk memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam
kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksimotik dalam menafsirkan diskursus
filosofis ilmu-ilmu Yunani. Prinsip kedua, dalam kaitan relasi kita dengan
Barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub
dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat,
tetapi terjadi harmoni diantara keduanya. Harmoni yang dimaksud tidak harus
sama dan identik. Karena itu hak untuk berbeda harus dihargai.
Prinsip ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara-cara Al-Ghazali menguliti filosuf tidak dengan tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk mempertanyakan tesis-tesis mereka. Dan prilaku ini menurut Ibnu Rusyd tidak layak dilakukan oleh orang terpelajar, karena tujuan orang terpelajar adalah hanya untuk mencari kebenaran bukan menyebarkan keragu-raguan.
Prinsip ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara-cara Al-Ghazali menguliti filosuf tidak dengan tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk mempertanyakan tesis-tesis mereka. Dan prilaku ini menurut Ibnu Rusyd tidak layak dilakukan oleh orang terpelajar, karena tujuan orang terpelajar adalah hanya untuk mencari kebenaran bukan menyebarkan keragu-raguan.
BAB III
Penutup
- Kesimpulan
Jika
mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan
Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi,
al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran
agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari
ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan
“serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Maka
dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman
ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian
pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat
pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya
diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam
keahliannya dalam bidang figh Islam.
- Saran
Tentunya
makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kririk dan sarannya dari berbagai pihak manapun. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Dan mudah-mudahan dapat dijadikan referensi untuk menambah khasanah keilmuan kita.
Amin…
DAFTAR PUSTAKA
·
Shaikh, M. Saeed. 1994. Studies
in Muslim Philosophy. Delhi:
Adam Publisher.
·
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. 2003. Ibnu
Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter. Yogyakarta:
Qirtas.
·
Madjid, Nurcholish. 1994. Khazanah
Intelektual Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
·
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatny. Jakarta:
Raja Grafimdo Persada.
·
Al-Ahwani,
Ahmad Fuad. 1997. Filsafat
Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
·
Dahlan, Abdul Aziz. 1999. Pemikiran
Falsafi dalam Islam. Padang:
IAIN IB Press.
·
Zar, Sirajuddin. 1999. Filsafat
Islam I. Padang: IAIN Press.
thankyou
BalasHapus